Marjinal - Indie Punk Jakarta Selatan


Marjinal - Indie Punk Jakarta Selatan Halaman Resmi Klik Disini




kami berdiri pada tanggal 22 desember 1996 bertepatan pada hari ibu,pada dasarnya kami bukanlah sebuah grup band,kami hanya menjadikan musik sebagai alat media untuk menyuarakan jeritan hati kami,sekaligus mewakili kesengsaraan rakyat indonesia,karna musik dapat di terima masyarakat secara luas dan politik adalah sasaran kami mungkin sedikit aneh kalo punk membahas tentang politik tapi di negri ini penyimpangan politik sangat mempengaruhi kehidupan sosial yang dapat menyebabkan kesengsaraan secara berjamaah.
Kita ketemu di kampus grafika daerah Jakarta Selatan. Awalnya,pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udah kita kuasai, menggambar, bikin desain. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmosfirnya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget. Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan.
Kita secara kebetulan bisa juga main musik. Ya, dengan modal gitar dan jurus tiga kunci, kita main musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.Lalu kita namakan kelompok itu Anti ABRI tetapi seiring dengan bergantinya nama institusi militer indonesia maka kami mengganti nama menjadi Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band, Padahal kita bukan anak band !! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik,medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band. Setelah Soeharto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi.Negeri ini jadi negeri ngeri.Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang.Maka dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup,kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation.Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah… MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.Kita ketemu di kampus grafika daerah Jakarta Selatan. Awalnya,pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udah kita kuasai, menggambar, bikin desain. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmosfirnya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget. Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan.Kita secara kebetulan bisa juga main musik. Ya, dengan modal gitar dan jurus tiga kunci, kita main musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.Lalu kita namakan kelompok itu Anti ABRI tetapi seiring dengan bergantinya nama institusi militer indonesia maka kami mengganti nama menjadi Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band, Padahal kita bukan anak band !! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik,medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band. Setelah Soeharto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi.Negeri ini jadi negeri ngeri.Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang.Maka dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup,kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation.Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah… MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.Kita ketemu di kampus grafika daerah Jakarta Selatan. Awalnya,pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udah kita kuasai, menggambar, bikin desain. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmosfirnya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget. Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan.Kita secara kebetulan bisa juga main musik. Ya, dengan modal gitar dan jurus tiga kunci, kita main musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.Lalu kita namakan kelompok itu Anti ABRI tetapi seiring dengan bergantinya nama institusi militer indonesia maka kami mengganti nama menjadi Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band, Padahal kita bukan anak band !! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik,medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band. Setelah Soeharto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi.Negeri ini jadi negeri ngeri.Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang.Maka dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup,kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation.Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah… MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.Kita ketemu di kampus grafika daerah Jakarta Selatan. Awalnya,pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udah kita kuasai, menggambar, bikin desain. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmosfirnya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget. Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan.Kita secara kebetulan bisa juga main musik. Ya, dengan modal gitar dan jurus tiga kunci, kita main musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.Lalu kita namakan kelompok itu Anti ABRI tetapi seiring dengan bergantinya nama institusi militer indonesia maka kami mengganti nama menjadi Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band, Padahal kita bukan anak band !! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik,medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band. Setelah Soeharto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi.Negeri ini jadi negeri ngeri.Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang.Maka dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup,kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation.Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah… MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.Kita ketemu di kampus grafika daerah Jakarta Selatan. Awalnya,pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udah kita kuasai, menggambar, bikin desain. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmosfirnya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget. Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan.Kita secara kebetulan bisa juga main musik. Ya, dengan modal gitar dan jurus tiga kunci, kita main musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.Lalu kita namakan kelompok itu Anti ABRI tetapi seiring dengan bergantinya nama institusi militer indonesia maka kami mengganti nama menjadi Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band, Padahal kita bukan anak band !! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik,medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band. Setelah Soeharto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi.Negeri ini jadi negeri ngeri.Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang.Maka dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup,kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation.Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah… MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.

Kita ketemu di kampus grafika daerah Jakarta Selatan. Awalnya,pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udah kita kuasai, menggambar, bikin desain. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmosfirnya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget. Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan.Kita secara kebetulan bisa juga main musik. Ya, dengan modal gitar dan jurus tiga kunci, kita main musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.Lalu kita namakan kelompok itu Anti ABRI tetapi seiring dengan bergantinya nama institusi militer indonesia maka kami mengganti nama menjadi Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band, Padahal kita bukan anak band !! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik,medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band. Setelah Soeharto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi.Negeri ini jadi negeri ngeri.Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang.Maka dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup,kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation.Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah… MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.

Kita ketemu di kampus grafika daerah Jakarta Selatan. Awalnya,pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udah kita kuasai, menggambar, bikin desain. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmosfirnya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget. Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan.Kita secara kebetulan bisa juga main musik. Ya, dengan modal gitar dan jurus tiga kunci, kita main musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.Lalu kita namakan kelompok itu Anti ABRI tetapi seiring dengan bergantinya nama institusi militer indonesia maka kami mengganti nama menjadi Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band, Padahal kita bukan anak band !! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik,medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band. Setelah Soeharto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi.Negeri ini jadi negeri ngeri.Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang.Maka dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup,kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation.Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah… MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.Kita ketemu di kampus grafika daerah Jakarta Selatan. Awalnya,pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udah kita kuasai, menggambar, bikin desain. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmosfirnya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget. Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan.Kita secara kebetulan bisa juga main musik. Ya, dengan modal gitar dan jurus tiga kunci, kita main musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.Lalu kita namakan kelompok itu Anti ABRI tetapi seiring dengan bergantinya nama institusi militer indonesia maka kami mengganti nama menjadi Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band, Padahal kita bukan anak band !! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik,medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band. Setelah Soeharto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi.Negeri ini jadi negeri ngeri.Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang.Maka dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup,kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation.Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah… MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.Kita ketemu di kampus grafika daerah Jakarta Selatan. Awalnya,pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udah kita kuasai, menggambar, bikin desain. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmosfirnya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget. Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan.Kita secara kebetulan bisa juga main musik. Ya, dengan modal gitar dan jurus tiga kunci, kita main musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.Lalu kita namakan kelompok itu Anti ABRI tetapi seiring dengan bergantinya nama institusi militer indonesia maka kami mengganti nama menjadi Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band, Padahal kita bukan anak band !! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik,medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band. Setelah Soeharto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi.Negeri ini jadi negeri ngeri.Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang.Maka dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup,kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation.Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah… MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.

0 Response to "Marjinal - Indie Punk Jakarta Selatan"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.